Rabu, 30 Juli 2008

Bertemu Romo Tan

Untuk suatu keperluan di sekitar Jogjakarta, Solo dan Klaten, saya bersama beberapa rekan berada di tiga kota itu sejak 11 hingga 16 Juli 2008. Sabtu, 12 Juli sore hari kami sempatkan datang ke dusun Ponggol, Pakem Jogjakarta. Dusun yang sekitar 20 km jauhnya dari pusat kota Jogjakarta (Malioboro) kami tempuh sekitar 30 menit. Apa yang menarik kami sehingga datang ke dusun itu? Dari seorang teman saya pernah mendapat informasi, bahwa disana tinggal seorang pastor yang berkarya bersama para petani. Melakukan budidaya ”ternak” cacing.
Sesampainya di dusun itu, tepatnya di halaman rumah yang juga terdapat kapel Santo Ignatius, kami mengetuk pintu pagar besi. Wah yang keluar seekor anjing besar. Menggongong kami. Tak lama kemudian keluar seorang bapak yang tak lain Romo FX Tan Soe Ie, SJ. Sebelum mempersilahkan kami masuk, romo Tan, panggilan akrabnya, membawa anjing tadi untuk dimasukkan ke dalam kandangnya. Rupanya ia tahu kami takut dengan anjing besar peliharaanya itu.
Setelahnya kami dipersilahkan masuk. Di halaman yang asri dan udara yang dingin, kami duduk di rumah bambu. Tanpa basi-basi, romo mulai membuka pembicaraan. ”Dari mana anda ini. Apa maksud kedatangan kami?”. Kamipun menjelaskan tentang ketertarikan kami atas karya romo di dusun ini. Mulailah romo bercerita. Dari soal cacing, pertanian, keadaan negara, perkembangan Gereja dan yang lainnya.
Jam 17.30 romo akan memimpin Misa, maka kamipun pamitan. Sebelum pulang romo memanggil pembantunya untuk mengantar kami ke lokasi peternakan cacing. Jarak dari tempat tinggal romo sekitar 1 km. Sesampainya di lokasi, kami memperoleh keterangan dari pembantunya. Bahwa di atas tanah yang sedang kami lihat ada sekitar 3000 m2, dibuat 8 rumah dari bambu dengan luas masing-masing rumah sekitar 30-40m2. Di situlah romo bersama para pembantunya berkarya. Berternak cacing untuk kepentingan petani dan pertanian.
Karena belum puas untuk mendengar cerita lain dari romo Tan, kami mengusulkan untuk dapat bertemu kembali dengannya. Waktunya besok, 13 Juli dan sambil makan malam. Romo setuju.

Esok harinya, 13 Juli jam 18.00 tepat kami menjemput romo. Acaranya makan bersama di Rumah Makan Pakem Sari, Pakem Jogjakarta. Dengan pakaian sangat sederhana dibungkus jaket warna krem romo dan kami berangkat ke restoran Pakem Sari. Perlu waktu 10 menit untuk sampai ke rumah makan itu. Cerita “babak kedua” dimulai lagi. Diselingi guyononnya yang segar. Dari makan malam ini saya lebih mengenal romo Tan.
Lahir di Gowongan, Jogjakarta pada 16 Desember 1928 dengan nama Tan Soe Ie. Di usianya yang ke tigapuluhlima, tepatnya tahun 1963, ditahbiskan menjadi imam Yesuit, setelah mengikuti pendidikan imam di Filipina.
Tujuh tahun memimpin Parodi Baciro Jogjakarta. Sembilan tahun Paroki Tangerang.
Tahun 1985 sampai 2002, bertugas di Timor Timur. Mendampingi kaum petani disana.
Bersemangat ketika bicara kerusuhan Mei 1998, kepedulian Gereja akan nasib bangsa. Akan nasib petani. Dan tentu soal cacing
Menguasai 5 bahasa. Bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, Latin, Tetum (Timor Timur), Yunani. Dan tentu saja Jowo. Senang dengan bahasa.
Kini ia tinggal di dusun Ponggol Pakem, Jogjakarta. Memimpin lebih dari 500 umat di stasi St Ignatius, Pakem. Juga memimpin 7 orang pegawai pada usaha ternak cacingnya. Dalam berbagai kesempatan, ia mengajak orang termasuk para petani untuk menghargai karya para petani. ”Kepada anak-anakmu, ajaklah mereka juga untuk ikut menjadi petani di desa,” demikian sering ia memberi wejangan kepada para petani di dusun Ponggol.
Sebelum pulang kami ajak kembali romo untuk makan bersama kami. Waktunya besok malam, 14 Juli 2008. Ya.. sambil perpisahan dengannya. Romo setuju bahkan mengusulkan untuk masak di rumahnya. Tapi karena beberapa pertimbangan, akhirnya kami putuskan untuk membawa masakan matang ke rumah romo.

Senin, 14 Juli jam 17.30 kami telah tiba kembali di rumah romo. Membawa masakan matang untuk makan bersama romo. Sebelum acara makan malam bersama, saya dan beberapa teman keliling rumah romo. Mengambil foto-foto mulai dari halaman rumah yang asri, ruang kerja, ruang tamu, perpustakaan kecilnya.
Makan malam itu sungguh berkesan. Makan bersama romo dan stafnya. Dengan nyala lilin yang biasanya dipakai untuk Misa, kami ngobrol sana-sini. Mulai dari keperihatinan romo atas kepedulian Gereja dengan kondisi saat ini, tradisi Gereja yang mulai luntur dan masih banyak lagi. Makan malam ditutup dengan doa.

Saat romo bertanya kapan kami pulang ke Jakarta. Kamipun mengatakan Rabu 16 Juli 2008. ”Nanti saya iringi perjalanan anda semua dengan nyala lilin sebagai tanda doa bagi perjalanan anda pulang kembali ke Jakarta,” demikian romo menjelaskan. Sungguh pengalaman yang berkesan buat kami. Bertemu dengan pastor yang sederhana, apa adanya, kritis dan tegas dalam berpendirian.
Dua hari kemudian, tentu dengan seijinnya, saya bangun weblog www.pastorpedulipetani.blogspot.com
Siapa tahu ada gunanya. Paling tidak untuk anda yang mau lebih mengenalnya.

yss

Kamis, 17 Juli 2008

Romo Tan dan Mesin "Kascing"-nya

Sumber : (ST SULARTO/KOMPAS, 22 Februari 2006)

Cacing di mata Fransiskus Xaverius Tan Soe Ie SJ (77) adalah lambang kesuburan. Binatang melata berlendir, liat, tanpa telinga dan mata, dan tak bertulang itu dia ubah jadi ”mesin” pembuat pupuk organik.
Kascing” atau bekas cacing tidak lebih dari kotoran cacing. ”Kotoran cacing tidak bau,” katanya, sambil menyorongkan segenggam pupuk kotoran cacing.
Di tempat tinggalnya, Desa Ponggol, Hargobinangun, Pakem 21 kilometer utara Kota Yogyakarta biarawan Jesuit itu sehari-hari bergelut dengan cacing. Dibantu tujuh pegawai, dalam satu minggu dia produksi 15-20 ton pupuk kascing.
Dikemas dalam karung besar berisi 20 kilogram dengan harga Rp 13.000 per karung atau kemasan kecil berisi tiga kilogram, pupuk kascing Romo Tan mulai dikenal luas. ”Saya belum umumkan ke luar,” katanya. ”Cuma sering geram ketika di arena pameran pertanian bertani jadi gaya baru hidup orang kota Yogya pupuk saya dibeli Rp 12.000 per 20 kilo dan dijual Rp 20.000.”
Menurut Romo Tan kepada Kompas demikian ia biasa disapa usaha kascing dimulai secara kebetulan. Awalnya kascing jadi pintu masuk mewujudkan obsesi meningkatkan kesejahteraan petani kecil. ”Perhatian pemerintah ke petani kecil hampir tidak ada. Produk yang mereka hasilkan dibabat oleh produk luar yang didatangkan pemerintah.”
Dirunut lewat perjalanan hidupnya, obsesi pada orang kecil menyatu sebagai jati diri Romo Tan. Jati diri itu pelan-pelan terbentuk sejak memimpin lembaga pendidikan calon-calon pastor di Magelang, berkarya di Paroki Baciro, Yogyakarta, kemudian di Tangerang, hingga saat berkarya di Dare, Timor Timur tahun 1985-2002.
Di Dare, 60 km tenggara Kota Dili, lebih dari 20 tahun Romo Tan merintis kaderisasi petani lewat Pusat Latihan Wiraswasta Pertanian. Romo Tan pernah ingin meninggal dan dikuburkan di sana.
Ketika diingatkan nazar itu, matanya berkaca-kaca, menerawang jauh. Katanya, ”Tidak mungkin saya tinggal di sebuah negara yang kemudian memusuhi negara saya. Setelah Timtim lepas, saya ingin pulang saja ke Indonesia, ke Jawa, tahun 2002.”
Sejak tinggal di kawasan sejuk Kaliurang, tahun 2003, Romo Tan terus mencari cara merealisasikan obsesinya. Secara kebetulan pada tahun 2004 seorang bekas muridnya menawarkan usaha pupuk kascing. Bekas murid yang tinggal di Semarang itu mau menghentikan usahanya setelah kehilangan kontak dengan mitra kerja di Jepang. ”Dia tidak bisa lagi ekspor pupuk kascing ke sana,” kata Romo Tan. ”Saya diminta ambil oper, dan saya mau, barangkali bisa jadi cara mewujudkan obsesi saya,” kata Romo Tan. Sebagai tanda terima kasih, merek perusahaan Pangkal Sejahtera diambil dari nama aslinya, Pangkalrejo.

Masyarakat Indonesia Baru
Sebagai pastor (gembala) umat, pupuk kascing hanyalah langkah konkret dan sarana merealisasi gagasan besarnya. Gagasan besar itu, selain pencerahan untuk petani kecil, terutama bagaimana mengajak kelompok masyarakat Tionghoa mau turun ke desa.
Romo Tan bercita-cita, nyaris jadi obsesi seperti kecintaannya pada petani kecil, bangsa Indonesia maju kalau kelompok Tionghoa menyatu dengan masyarakat pedesaan Indonesia.
”Setelah negara dan masyarakat warga, mereka harus diberi panggung,” kata Romo Tan menerawang, bertemu dengan arus besar pemikiran membangun bangsa Indonesia.
Katanya lagi, ”Kalau umat Katolik Keuskupan Agung Jakarta yang sebagian di antaranya orang-orang Tionghoa kaya live in di desa, mereka akan terbuka mata.”
”Jangan tuntut rakyat desa dan petani itu kreatif. Mereka harus diberi contoh. Contoh lebih mudah diterima, sementara umumnya orang desa sulit menerima contoh, sebaliknya juga sulit melepaskan apa yang sudah jadi kebiasaan turun-temurun.”
Menurut Romo Tan, kalau orang-orang Tionghoa bersatu dan merasa satu napas dengan persoalan pedesaan, pandangan dan penilaian mereka tentu lain. Di satu pihak bagi masyarakat desa tidak ada perasaan curiga, di lain pihak orang-orang Tionghoa merasa diterima sebagai bagian utuh rakyat dan bangsa Indonesia.
Romo Tan yang lahir di Gowongan, Yogyakarta, 16 Desember 1928, ditahbiskan pastor tahun 1963, hampir menghabiskan separuh hidupnya tinggal di desa dan pertanian.
Diselingi tugas sebagai pendidik dan pastor paroki, sebagian besar karya kegembalaannya ada di lingkungan pertanian. Habitat pertanian dengan bau sawah, lumpur, dan comberan adalah bagian dari kesehariannya. Di ruang kerjanya, suara kicau burung dan tumpukan pupuk kascing nyaris menghilangkan sosok Romo Tan sebagai seorang pastor, kecuali di atas mejanya tergeletak lusuh buku doa brevir—doa wajib biarawan yang dia daraskan setiap pagi.
Tan Soe Ie SJ yang punya obsesi petani mandiri dan menyatunya kelompok Tionghoa dengan bangsa Indonesia adalah juga pendidik yang di mata bekas murid-muridnya berhasil menanamkan cita-cita manusia berkarakter.
Pupuk kascing dalam konteks tersebut sebenarnya hanya pintu masuk sebuah gagasan besar tentang Masyarakat Indonesia Baru.

Romo Tan Menerima Para Tamu





Foto-foto Tempat Tinggal Romo Tan

























Foto-foto Budidaya Cacing