Selasa, 10 Maret 2009

27 Februari 2009, Romo Tan Dimakamkan

Jumat, 27 Februari 2009, Romo Tan dimakamkan di Girisonta. Sebelumnya disemayamkan di Kolese Santo Ignatius, Kotabaru Jogjakarta.







Rabu, 25 Februari 2009

Selamat Jalan Romo Tan


SELAMAT JALAN ROMO TAN SOE IE, SJ

27 Desember 2008, saya bersama Mas Anton Sumarjana, rekan wartawan Majalah HIDUP datang menemui Romo Tan Soe Ie, SJ di dusun Ponggol, Pakem, Jogjakarta.
Atas karya-karyanya selama ini, majalah HIDUP menganggap layak, perjalanan hidup beliau dimuat dalam Sajian Utama edisi 25 Januari 2009. Sampai siang hari, romo bersama kami berbincang banyak tentang masa kecil, panggilan membiara, perjalanan karya, pertanian, pupuk dari kotoran cacing dan perkembangan Gereja masa kini. Makan siang bersama romo, tak ada yang istimewa. Nasi, sayur daun singkong, kerecek kulit. Selesai makan siang, saya mengambil foto-foto untuk cover majalah HIDUP. Dengan sedikit bergurau saya memohon romo untuk menggunakan jubahnya. Tak ketinggalan pesan untuk tersenyum saat saya mengambil gambar beliau.
Sore hari jam 17.30, Misa dalam rangka syukuran ulang tahun ke-80 beliau (lahir 16 Desember 1928). Tempatnya di kapel Santo Ignatius, dusun Ponggol. Tak ada tanda-tanda bahwa romo mengalami gangguan kesehatan. Usai Misa, umat bekerumun untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun. Mulai dari orang-orang berusia lanjut, anak muda, anak-anak, semua terlihat akrab dengan beliau.
Selesai Misa, diselenggarakan syukuran bersama warga masyarakat. Tempatnya di bumi perkemahan Sumber Boyong, sekitar 200 m dari kapel. Hadir sekitar 600 warga masyarakat. ”Beliau dekat dengan kami,” demikian pengakuan pak Suparmin (muslim) tokoh warga di dusun itu.
19 Februari, saya memperoleh kabar romo telah menerimakan Sakramen Minyak Suci.
25 Februari (Rabu Abu), jam 03.00 romo telah tiada. Ia telah menemui ”SANG ANAK KECIL”, seperti yang ia sharingkan dalam homilinya pada Misa 27/12/08.
Selamat jalan romo Tan....

Romo Tan pada homili 27/12/08 : ”Kita masih ada dalam suasana Natal. Pada hari Natal dan sampai sekarang, pusat pikiran, pusat perhatian, hati kita ialah pada anak kecil yang lahir di kandang. Dalam malam Natal kemarin saya merenungkan juga. Saya melihat seolah-olah Tuhan Yesus yang dibaringkan di Betlehem itu dalam suatu kandang. Kita hanya mengingat bahwa seorang anak kecil dilahirkan di kandang karena tidak ada tempat bagiNya. Mereka miskin. Lalu entah bagaimana saya teringat juga. Di tempat di negara di tanah Yesus dilahirkan, air bukanlah hal yang mudah. Apalagi di padang gurun. Dikatakan dalam Injil bahwa Maria, ibuNya membungkusNya dengan kain lampin. Artinya Ia hanya dibungkus dengan gombal. Bagaimana Maria membersihkanNya, mengeringkan bayi kecil itu. Dan dalam hati, saya berpikir juga ketika Yesus dilahirkan itu apakah dia juga menangis. Tentu, tangis seorang anak yang pertama kali. Barangkali juga kedinginan, karena di tempat Yesus dilahirkan malam amat dingin. Kemudian kita juga ingat akan kata-kata yang disampaikan Simeon waktu Yesus dipersembahkan di bait Allah. Anak ini akan menjadi tanda jatuhnya banyak orang. Anak ini akan menjadi tanda juga bangkitnya banyak orang. Saudara-i yang terkasih dalam Yesus Kristus. Satu yang ingin saya tanamkan dalam hati kita. Marilah kita tanamkan dalam hati kita tentang anak kecil ini. Dalam imanku sebagai umat Tuhan. Yang menjadi dasar pusat imanku. Yaitu seorang anak kecil yang namaNya Yesus dan menjadi besar. Akhirnya dengan aku mengenal Yesus. Aku diperkenalkan kepadaNya dan dia kuterima dalam hatiKu. Yesus, Allahku yang lahir menjadi manusia. Manusia seperti kita....”

Yohannes Sugiyono Setiadi

Sabtu, 21 Februari 2009

Romo Tan Dirawat di Rumah Sakit


Saat ini Romo Tan Soe Ie SJ dalam keadaan sakit. Beliau dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih, Jogjakarta. Mohon dukungan doa bagi beliau.

Selasa, 06 Januari 2009

Syukuran Usia ke-80 Romo Tan




Cacing bagi sebagian orang dianggap menjijikkan, kotor dan tidak bermanfaat. Lain halnya dengan Pastor F.X. Tan Soe Ie, SJ. Kotoran dari cacing justru dimanfaatkan. Untuk apa? Segala bahan alami yang busuk (organik) masuk dalam perut cacing, dicernakan dan dikeluarkan lagi berbentuk butiran-butiran halus, berwarna kehitam-hitaman dan beraroma sedap seperti tanah. Kotoran cacing bercampur lendir dan air liurnya menjadi pupuk organik yang sangat berkhasiat bagi segala macam tanaman. Pupuk seperti ini diberi nama kascing. Usaha ini dirintis Romo Tan, panggilan akrabnya, sejak 2004. Romo Tan dibantu 7 orang pegawai. Dalam satu minggu usaha ini menghasilkan 15-20 ton pupuk kascing. Siapa romo Tan?
Dia lahir di Gowongan, Jogjakarta, 16 Desember 1928. Anak ke-4 dari pasutri Tan Kiem Gwan dan Nyoo Gwat Nio ini ditahbiskan menjadi imam Yesuit pada tahun 1963. Tahun 1965-1969 Romo Tan menjadi pamong di Seminari Mertoyudan. Romo Tan juga pernah bertugas di beberapa paroki. Diantaranya, Paroki Baciro, Jogjakarta tahun 1970-1978. Paroki Santa Maria, Tangerang tahun 1978-1986. Setelahnya selama lebih dari 17 tahun ia bertugas di Dare, 60 km dari Dili Timor Timur. Disana ia merintis kader petani lewat Pusat Latihan Wiraswasta Pertanian (PUSLAWITA).
Sejak 2003 hingga kini ia tinggal di dusun Ponggol, desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem sekitar 20 km arah utara dari kota Jogjakarta. Romo Tan memimpin sekitar 500 umat Katolik di Stasi Santo Ignatius Ponggol, Pakem. Karya lainnya, ia membangun bumi perkemahan di dusun Sumber Boyong, desa Candibinangun, Pakem. Usaha ini dibangun guna menghidupkan perekonomian warga sekitar. “Dengan adanya perkemahan ini, tentu banyak anak sekolah dan lainnya yang berkemah disini. Kehadiran mereka akan memberi kesempatan kepada warga sekitar untuk membuka peluang usaha,” demikian Romo Tan.
Untuk mengucapkan syukur atas usia yang ke-80, pada 27 Desember 2008 dirayakan Misa Syukur, mengambil tempat di kapel Stasi St Ignatius Ponggol, Pakem. Misa dipimpin langsung Romo Tan. Tak kurang 200 umat hadir. Selesai Misa, di Bumi Perkemahan Sumber Boyong diselenggarakan syukuran, sarasehan dan makan bersama. Hadir umat Stasi St Ignatius, juga warga masyarakat lainnya dari dusun itu. Hadir pula puluhan umat dari Lingkungan Santa Bernadette IV, Paroki St Yakobus, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Aneka makanan tradisional seperti nasi liwet, lontong sayur, kacang rebus, wedang ronde menjadi hidangan khas malam itu. “Itu atas permintaan beliau. Bersyukur dalam kesederhanaan,” demikian salah seorang panitia menjelaskan. Dalam pesannya, Romo Tan menyampaikan salam damai untuk semua yang hadir. Beliau mengucapkan terima kasih terutama kepada warga masyarakat sekitar yang menerima kehadirannya selama lebih dari 5 tahun. Beliau juga berharap rasa persaudaraan yang ada di desa itu terus dijaga.
Pak Suparmin, mewakili warga sekitar mengharapkan kerukunan antar pemeluk agama di desa itu tetap terus dijaga. Ia juga mengucapkan terima kasih atas peran serta Romo Tan dalam ikut membangun taraf hidup masyarakat sekitar. Misalnya pemberian bantuan pipa-pipa saluran air. “Dengan dibukanya bumi perkemahan di dusun ini, warga dapat menjual salak hasil budidaya warga setempat, juga memberi pemasukan kas RW setempat seperti dari perpakiran dll,” demikian Suparmin. Mewakili umat Lingkungan Santa Bernadette IV, Paroki St Yakobus, Kelapa Gading, Jakarta Utara, JI Andilolo dan Sudjio Pranoto menyampaikan kesan dan harapannya. “Teladan Romo Tan hendaknya dapat memberi inspirasi semua pihak untuk tetap mengedepankan kepentingan orang banyak. Hidup rukun dalam kebhinekaan dan tetap semangat membangun masyarakat yang tinggal jauh dari kota besar,” Pada penutup acara, diputarkan film “Pemanasan Global”.