Rabu, 25 Februari 2009
Selamat Jalan Romo Tan
SELAMAT JALAN ROMO TAN SOE IE, SJ
27 Desember 2008, saya bersama Mas Anton Sumarjana, rekan wartawan Majalah HIDUP datang menemui Romo Tan Soe Ie, SJ di dusun Ponggol, Pakem, Jogjakarta.
Atas karya-karyanya selama ini, majalah HIDUP menganggap layak, perjalanan hidup beliau dimuat dalam Sajian Utama edisi 25 Januari 2009. Sampai siang hari, romo bersama kami berbincang banyak tentang masa kecil, panggilan membiara, perjalanan karya, pertanian, pupuk dari kotoran cacing dan perkembangan Gereja masa kini. Makan siang bersama romo, tak ada yang istimewa. Nasi, sayur daun singkong, kerecek kulit. Selesai makan siang, saya mengambil foto-foto untuk cover majalah HIDUP. Dengan sedikit bergurau saya memohon romo untuk menggunakan jubahnya. Tak ketinggalan pesan untuk tersenyum saat saya mengambil gambar beliau.
Sore hari jam 17.30, Misa dalam rangka syukuran ulang tahun ke-80 beliau (lahir 16 Desember 1928). Tempatnya di kapel Santo Ignatius, dusun Ponggol. Tak ada tanda-tanda bahwa romo mengalami gangguan kesehatan. Usai Misa, umat bekerumun untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun. Mulai dari orang-orang berusia lanjut, anak muda, anak-anak, semua terlihat akrab dengan beliau.
Selesai Misa, diselenggarakan syukuran bersama warga masyarakat. Tempatnya di bumi perkemahan Sumber Boyong, sekitar 200 m dari kapel. Hadir sekitar 600 warga masyarakat. ”Beliau dekat dengan kami,” demikian pengakuan pak Suparmin (muslim) tokoh warga di dusun itu.
19 Februari, saya memperoleh kabar romo telah menerimakan Sakramen Minyak Suci.
25 Februari (Rabu Abu), jam 03.00 romo telah tiada. Ia telah menemui ”SANG ANAK KECIL”, seperti yang ia sharingkan dalam homilinya pada Misa 27/12/08.
Selamat jalan romo Tan....
Romo Tan pada homili 27/12/08 : ”Kita masih ada dalam suasana Natal. Pada hari Natal dan sampai sekarang, pusat pikiran, pusat perhatian, hati kita ialah pada anak kecil yang lahir di kandang. Dalam malam Natal kemarin saya merenungkan juga. Saya melihat seolah-olah Tuhan Yesus yang dibaringkan di Betlehem itu dalam suatu kandang. Kita hanya mengingat bahwa seorang anak kecil dilahirkan di kandang karena tidak ada tempat bagiNya. Mereka miskin. Lalu entah bagaimana saya teringat juga. Di tempat di negara di tanah Yesus dilahirkan, air bukanlah hal yang mudah. Apalagi di padang gurun. Dikatakan dalam Injil bahwa Maria, ibuNya membungkusNya dengan kain lampin. Artinya Ia hanya dibungkus dengan gombal. Bagaimana Maria membersihkanNya, mengeringkan bayi kecil itu. Dan dalam hati, saya berpikir juga ketika Yesus dilahirkan itu apakah dia juga menangis. Tentu, tangis seorang anak yang pertama kali. Barangkali juga kedinginan, karena di tempat Yesus dilahirkan malam amat dingin. Kemudian kita juga ingat akan kata-kata yang disampaikan Simeon waktu Yesus dipersembahkan di bait Allah. Anak ini akan menjadi tanda jatuhnya banyak orang. Anak ini akan menjadi tanda juga bangkitnya banyak orang. Saudara-i yang terkasih dalam Yesus Kristus. Satu yang ingin saya tanamkan dalam hati kita. Marilah kita tanamkan dalam hati kita tentang anak kecil ini. Dalam imanku sebagai umat Tuhan. Yang menjadi dasar pusat imanku. Yaitu seorang anak kecil yang namaNya Yesus dan menjadi besar. Akhirnya dengan aku mengenal Yesus. Aku diperkenalkan kepadaNya dan dia kuterima dalam hatiKu. Yesus, Allahku yang lahir menjadi manusia. Manusia seperti kita....”
Yohannes Sugiyono Setiadi