Kamis, 17 Juli 2008

Romo Tan dan Mesin "Kascing"-nya

Sumber : (ST SULARTO/KOMPAS, 22 Februari 2006)

Cacing di mata Fransiskus Xaverius Tan Soe Ie SJ (77) adalah lambang kesuburan. Binatang melata berlendir, liat, tanpa telinga dan mata, dan tak bertulang itu dia ubah jadi ”mesin” pembuat pupuk organik.
Kascing” atau bekas cacing tidak lebih dari kotoran cacing. ”Kotoran cacing tidak bau,” katanya, sambil menyorongkan segenggam pupuk kotoran cacing.
Di tempat tinggalnya, Desa Ponggol, Hargobinangun, Pakem 21 kilometer utara Kota Yogyakarta biarawan Jesuit itu sehari-hari bergelut dengan cacing. Dibantu tujuh pegawai, dalam satu minggu dia produksi 15-20 ton pupuk kascing.
Dikemas dalam karung besar berisi 20 kilogram dengan harga Rp 13.000 per karung atau kemasan kecil berisi tiga kilogram, pupuk kascing Romo Tan mulai dikenal luas. ”Saya belum umumkan ke luar,” katanya. ”Cuma sering geram ketika di arena pameran pertanian bertani jadi gaya baru hidup orang kota Yogya pupuk saya dibeli Rp 12.000 per 20 kilo dan dijual Rp 20.000.”
Menurut Romo Tan kepada Kompas demikian ia biasa disapa usaha kascing dimulai secara kebetulan. Awalnya kascing jadi pintu masuk mewujudkan obsesi meningkatkan kesejahteraan petani kecil. ”Perhatian pemerintah ke petani kecil hampir tidak ada. Produk yang mereka hasilkan dibabat oleh produk luar yang didatangkan pemerintah.”
Dirunut lewat perjalanan hidupnya, obsesi pada orang kecil menyatu sebagai jati diri Romo Tan. Jati diri itu pelan-pelan terbentuk sejak memimpin lembaga pendidikan calon-calon pastor di Magelang, berkarya di Paroki Baciro, Yogyakarta, kemudian di Tangerang, hingga saat berkarya di Dare, Timor Timur tahun 1985-2002.
Di Dare, 60 km tenggara Kota Dili, lebih dari 20 tahun Romo Tan merintis kaderisasi petani lewat Pusat Latihan Wiraswasta Pertanian. Romo Tan pernah ingin meninggal dan dikuburkan di sana.
Ketika diingatkan nazar itu, matanya berkaca-kaca, menerawang jauh. Katanya, ”Tidak mungkin saya tinggal di sebuah negara yang kemudian memusuhi negara saya. Setelah Timtim lepas, saya ingin pulang saja ke Indonesia, ke Jawa, tahun 2002.”
Sejak tinggal di kawasan sejuk Kaliurang, tahun 2003, Romo Tan terus mencari cara merealisasikan obsesinya. Secara kebetulan pada tahun 2004 seorang bekas muridnya menawarkan usaha pupuk kascing. Bekas murid yang tinggal di Semarang itu mau menghentikan usahanya setelah kehilangan kontak dengan mitra kerja di Jepang. ”Dia tidak bisa lagi ekspor pupuk kascing ke sana,” kata Romo Tan. ”Saya diminta ambil oper, dan saya mau, barangkali bisa jadi cara mewujudkan obsesi saya,” kata Romo Tan. Sebagai tanda terima kasih, merek perusahaan Pangkal Sejahtera diambil dari nama aslinya, Pangkalrejo.

Masyarakat Indonesia Baru
Sebagai pastor (gembala) umat, pupuk kascing hanyalah langkah konkret dan sarana merealisasi gagasan besarnya. Gagasan besar itu, selain pencerahan untuk petani kecil, terutama bagaimana mengajak kelompok masyarakat Tionghoa mau turun ke desa.
Romo Tan bercita-cita, nyaris jadi obsesi seperti kecintaannya pada petani kecil, bangsa Indonesia maju kalau kelompok Tionghoa menyatu dengan masyarakat pedesaan Indonesia.
”Setelah negara dan masyarakat warga, mereka harus diberi panggung,” kata Romo Tan menerawang, bertemu dengan arus besar pemikiran membangun bangsa Indonesia.
Katanya lagi, ”Kalau umat Katolik Keuskupan Agung Jakarta yang sebagian di antaranya orang-orang Tionghoa kaya live in di desa, mereka akan terbuka mata.”
”Jangan tuntut rakyat desa dan petani itu kreatif. Mereka harus diberi contoh. Contoh lebih mudah diterima, sementara umumnya orang desa sulit menerima contoh, sebaliknya juga sulit melepaskan apa yang sudah jadi kebiasaan turun-temurun.”
Menurut Romo Tan, kalau orang-orang Tionghoa bersatu dan merasa satu napas dengan persoalan pedesaan, pandangan dan penilaian mereka tentu lain. Di satu pihak bagi masyarakat desa tidak ada perasaan curiga, di lain pihak orang-orang Tionghoa merasa diterima sebagai bagian utuh rakyat dan bangsa Indonesia.
Romo Tan yang lahir di Gowongan, Yogyakarta, 16 Desember 1928, ditahbiskan pastor tahun 1963, hampir menghabiskan separuh hidupnya tinggal di desa dan pertanian.
Diselingi tugas sebagai pendidik dan pastor paroki, sebagian besar karya kegembalaannya ada di lingkungan pertanian. Habitat pertanian dengan bau sawah, lumpur, dan comberan adalah bagian dari kesehariannya. Di ruang kerjanya, suara kicau burung dan tumpukan pupuk kascing nyaris menghilangkan sosok Romo Tan sebagai seorang pastor, kecuali di atas mejanya tergeletak lusuh buku doa brevir—doa wajib biarawan yang dia daraskan setiap pagi.
Tan Soe Ie SJ yang punya obsesi petani mandiri dan menyatunya kelompok Tionghoa dengan bangsa Indonesia adalah juga pendidik yang di mata bekas murid-muridnya berhasil menanamkan cita-cita manusia berkarakter.
Pupuk kascing dalam konteks tersebut sebenarnya hanya pintu masuk sebuah gagasan besar tentang Masyarakat Indonesia Baru.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Apa yang sudah, dimulai sebaiknya diteruskan, ditularkan dan disebar-luaskan,sehingga masyarakat Tionghoa dapat turut berpartisipasi aktif menyatu untuk bersama membangun masyarakat desa di Indonesia tercinta